Sabtu, 08 Oktober 2011

Negara Terancam Partai Parasit

Berapa lama Indonesia akan tetap ada dan bertahan dengan sistem sekarang ini? Ketika Indonesia di bawah rezim otoritarian yang membatasi semua aktivitas warganya, rakyat muak. Kemudian ramai-ramai menumbangkan rezim otoritarian itu.

Rakyat menginginkan kehidupan yang lebih bebas. Supaya dapat mengekspresikan semua kehendak dan cita-cita kehidupan mereka. Itulah yang sekarang di sebut : demokrasi.

Demokrasi itu inheren (melekat) dengan partai-partai politik, pemilu, dan lembaga perwakilan yang disebut : DPR. DPR menjadi representasi yang mewakili rakyat, melalui parti-partai politik. Maka, yang paling pokok di era demokrasi itu, peranan partai-partai menjadi katalisator antara rakyat dengan negara. Karena, tidak mungkin dapat menyimpulkan kepentingan dan kehendak dari 240 juta penduduk Indonesia. Satu-persatu.Adanya partai politik melalui parlemen, sesungguhnya yang paling pokok memperjuangkan segala kepentingan rakyat yang diwakilinya. Tujuannya, supaya kehidupan rakyat mengalami progres (kemajuan) kehidupan mereka. Terjadi proses perbaikan kehidupan secara bertahap. Aspek-aspek yang menjadi kepentingan rakyat mengalami perbaikan. Bukan sebaliknya. Semakin mengalami kemunduran dan stagnan.

Di negara-negara yang sudah maju sistem demokrasinya, selalu ada sistem "check and balances", yang mapan. Ada kekuatan yang mendukung pemerintah dan ada kekuatan politik yang melakukan oposisi.

Di Indonesia tidak ada yang namanya oposisi, yang mewakili kepentingan yang "dissent" (berbeda), semuanya menjadi alat kekuasaan, melalui sebuah koalisi, dan pembagian kekuasaan (sharing of power). Bagi-bagi kekuasaan ini antara kekuasaan dengan partai-partai politik, akhirnya melahirkan sistem : parasit.

Di mana partai-partai yang menjadi pendukung kekuasaan itu, kemudian berubah wujudnya bukan lagi menjadi "mitra" atau "partnership", yang bertujuan memperbaiki kehidupan rakyat. Tetapi, hanya mengkapling-kapling asset negara, yang digunakan kepentingan politik dan pribadi.

Partai-partai yang sebenarnya mempunyai wewenang dan tanggung jawab, melakukan kontrol (hisbah-amar ma'ruf nahi munkar), tidak menjalankannya. Partai-partai hanya menjadi legitimator kekuasaan, karena setiap tindakan kontrol yang tujuannya memperbaiki kehidupan negara, dan keinginan mengakomodasi kepentingan rakyat, yang ada ketakutan dari partai-partai politik akan di "exsite" (dikeluarkan) dari kekuasaan. Tidak ada satupun partai yang mengambi posisi menjadi kekuatan oposisi.

Karena partai-partai yang ada sekarang ini, hidupnya hanya bergantung dari sumber-sumber negara, termasu APBN, yang dengan berbagai cara yang mereka lakukan, semuanya tujuannya memperbesar pundi-pundi, yang kemudian digunakannya untuk mendapatkan kekuasaan, melalui pemilu. Karena aktivitas politik membutuhkan uang, maka cara yang sangat populer sekarang sudah menjadi lazim, yaitu menjadi: calo, alias makelar, atau broker.

Hakikatnya, tidak ada partai yang benar-benar mandiri, dan tidak bergantung kepada negara. Semuanya menggunakan kekuasaan yang dimiliki, kemudian berusaha mendapatkan uang yang bersumber dari negara.

Negara Republik Indonesia, yang keluar dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi, alih-alih kehidupan rakyatnya menjadi semakin baik, justru sebaliknya, tingkat kehidupan mereka semakin merosot di segala sektor. Kehidupan yang baik hanya terjadi di segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan atau elite partai.

Bahkan, tentu yang lebih mengkawatirkan asset-asset negara telah habis dijual kepada fihak asing, dan penjualan asset negara itu mendapatkan dasar hukum yang dibuat oleh DPR.

Selain itu, tidak ada satupun partai politik yang benar-benar tidak terlibat dalam percaloan, makelar, atau menjadi broker.

Apalagi, berdasarkan undang-undang yang ada, di mana DPR yang isinya tak lain, anggota partai-partai atau pengurus partai, dan di era demokrasi sekarang mereka, memiliki kekuasaan yang luar biasa. Di mana DPR berdasarkan undang-undang mempunyai hak membuat undang-undang dan menentukan budged (Anggaran-APBN), ini tidak tanggung-tanggung.

Kasus di Kemenaktrans (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi), bukan kasus tunggal, banyak kasus serupa lainnya. Di mana terjadi "kong kalikong" antara Banggar (Badan Anggaran) dan Departemen. Departemen ingin mendapatkan anggaran tambahan, dan Banggar mempunyai kewenangan menyetujui. Semuanya dapat berlangsung dengan sangat mulus.

Termasuk anggaran yang sekarang ke daerah-daerah dalam bentuk DAU (Dana Alokasi Umum) atau DAK(Dana Alokasi Khusus), yang itu diperuntukan bagi propinsi atau daerah. Semuanya anggaran yang ada ini menjadi bagian dari de-sentralisasi atau otonomi daerah. Maka disini terjadi "negosiasi" antara anggota Banggar dengan gubernur dan bupati yang ingin melipatkan-gandakan pagu anggarannya.

Belum lagi departemen-departemen yang menterinya dari partai politik, mereka tak lepas dari pengaruh partainya. Pemanfaatan departemen yang dipimpin oleh seorang kader partai itu, sudah sangat lazim. Sehingga, departemen-departemen itu dikapling-kapling, berdasarkan partai, di mana menteri-menteri yang ada, dan itu juga akan melibatkan unsur-unsur anggota DPR, karena berkaitan dengan anggaran. Bahkan, menjadi "broker" antara pengusaha dengan kementerian yang ada. Departemen-departemen itu menjadi "sapi perahan", yang mereka nikmati.

Lalu, ketika lembaga penegak hukum, seperti KPK yang ingin menegakkan hukum, menghadapi perlawanan yang hebat, khususnya dari para anggota DPR. Mereka mengancam akan membubarkan lembaga yang dituduhnya sebagai "super body". Mereka tidak ingin aktivitas mereka itu terganggu oleh KPK.

Mereka merencanakan ingin mempreteli KPK dengan cara melakukan revisi terhadap undang-undang KPK, dan membatasi kewenangannya. Melumpuhkan KPK. Inilah sebuah mimpi buruk Orde Reformasi. Partai-partai justru ingin menghancurkan bangunan yang ada sekarang ini, karena mereka tidak ingin dibatasi oleh hukum.

Demokrasi tanpa adanya hukum, hanya akan melahirkan "chaos" (kekacauan), dan demokrasi akan hilang.

Mestinya di negeri itu, di era Orde Reformasi ini, tidak ada orang, siapapun orangnya yang merasa "immune" (kebal) terhadap hukum. Kalau menginginkan seperti anggota DPR menjadi "immune", dan tidak mau disentuh oleh hukum, maka ini hanya menandakan akan kehancuran.

Anggota DPR itu "immune" hanya ketika ia menyampaikan pendapat dalam sidang-sidang atau rapat-rapat terbuka. Bukan ketika mereka melakukan pelanggaran hukum lalu, mereka menuntut immunitas.

Adalah hak KPK sebagai lembaga penegak hukum berdasarkan undang-undang memeriksa siapa saja, yang mempunyai indikasi melakukan pelanggaran hukum. Tidak ada dispensasi atau "kelas" tersendiri yang tidak bisa dikenai hukuman, hanya semata menjadi anggota DPR.

Jika tidak ada penegakkan hukum yang proporsional, maka Indonesia tidak akan lama umurnya. Karena setiap orang akan bertindak sesuai dengan nalurinya dan keinginannya, betapapun melakukan kesalahan. Apalagi sekarang ini, negara sedang terancam oleh sistem parasit yang merusak dan menggerogoti uang negara secara "berjamaah", dan tidak ada lagi rasa malu. Karena mereka merasa sah ketika bertindak.

Unsur-unsur partai politik dapat menggunakan kewenangannya dan kekuasaannya untuk mendapatkan "uang", dan itu termasuk sebagai tindakan "abuse of powers", yang kalau tidak dicegah akan merusak seluruh sistem dan bangunan negara.

Masalahnya ikhlaskah partai-partai yang ada sekarang? Wallahu'alam.

Sumber : http://www.eramuslim.com/editorial/negara-terancam-partai-parasit.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar